Pasundan Raya – Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengingatkan pentingnya sinergi antara otoritas fiskal dan moneter Indonesia dalam menghadapi dua tekanan global yang datang bersamaan. Tekanan ini, menurut Syafruddin, berasal dari keputusan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), yang menunda pelonggaran suku bunga acuan (Fed Fund Rate), dan lonjakan harga minyak dunia.
Syafruddin menjelaskan bahwa kombinasi kedua faktor tersebut memberikan tekanan ganda terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, terutama dalam hal nilai tukar, inflasi energi, dan keseimbangan fiskal. Keputusan Federal Reserve yang menahan suku bunga acuan dapat menyebabkan aliran dana global tetap mengarah ke aset dolar yang lebih aman dan menguntungkan. Hal ini dapat mengakibatkan arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Lebih lanjut, Syafruddin menyoroti lonjakan harga minyak dunia, dengan harga minyak Brent yang mencapai US$72,16 per barel dan WTI di US$68,28 per barel. Menurutnya, lonjakan ini bukan semata-mata akibat faktor teknikal, melainkan merupakan respons pasar terhadap sanksi baru yang dijatuhkan AS terhadap ekspor minyak Iran dan ketegangan dalam tubuh OPEC+. Sebagai negara net importir energi, Indonesia diperkirakan akan merasakan dampak langsung dari kenaikan harga minyak ini, seperti membengkaknya subsidi energi, meningkatnya tekanan inflasi, dan memburuknya neraca transaksi berjalan.
Syafruddin menegaskan bahwa dalam menghadapi situasi ini, pemerintah dan otoritas keuangan Indonesia harus berbicara dalam satu suara untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ia mencontohkan, Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tanpa mengorbankan pertumbuhan kredit dan investasi, sementara pemerintah harus memperkuat efektivitas belanja negara. Salah satu langkah yang perlu dikaji adalah pembenahan kebijakan subsidi energi agar tidak menggerus ruang fiskal yang seharusnya digunakan untuk mendukung sektor produktif.
Selain itu, Syafruddin menekankan pentingnya transisi energi bagi Indonesia. Ketergantungan pada minyak impor telah berulang kali menempatkan Indonesia dalam posisi rentan. Oleh karena itu, dia melihat perlunya dua pendekatan dalam menghadapi tantangan ini. Pendekatan pertama adalah jangka menengah, yaitu strategi nasional yang mengarah pada ketahanan dan kemandirian energi. Pendekatan kedua adalah jangka pendek, yang fokus pada perlindungan daya beli masyarakat melalui langkah-langkah strategis seperti bantuan langsung, insentif bagi UMKM, dan pengendalian harga pangan.
Syafruddin juga menyatakan bahwa meskipun perekonomian Indonesia telah terbukti mampu bertahan di tengah ketidakpastian global, kali ini dibutuhkan kebijakan yang tegas, respons cepat, dan koordinasi lintas sektor yang nyata. Ia menegaskan bahwa optimisme pasar adalah modal awal yang penting, tetapi tanpa ketahanan, optimisme tersebut dapat berubah menjadi euforia yang rapuh. Oleh karena itu, Syafruddin menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik saja tidak cukup; yang lebih penting adalah ketahanan ekonomi, baik dari sisi fiskal, energi, maupun sosial.
Dengan langkah-langkah strategis dan koordinasi yang baik antara pemerintah, Bank Indonesia, dan sektor-sektor terkait, Indonesia diharapkan dapat mengatasi tekanan ekonomi global dan menjaga stabilitas serta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (Hilman)