Jakarta, Pasundan Raya – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani beberapa hari terakhir terus tampil seolah menjadi ‘juru bicara’ pemerintah terkait dengan RUU TNI. Kali ini, Puan menegaskan bahwa penempatan jabatan TNI aktif di 14 kementerian dan lembaga sudah relevan sesuai kebutuhan negara.
“Kami ingin memastikan TNI hanya ditempatkan pada bidang yang memang relevan dan dibutuhkan untuk negara,” kata Puan kepada wartawan di Kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Menurutnya, Hal tersebut tercantum dalam perubahan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Di mana pada pasal 47, memperluas ruang lingkup jabatan TNI aktif dari 10 menjadi 14 kementerian dan lembaga. “Kalau di luar dari pasal 47 bahwa hanya ada 14 kementerian dan lembaga yang boleh diduduki TNI aktif, maka harus mundur atau pensiun dini,” sambung Puan.
Puan yang menjabat Ketua Bidang Polkam di DPP PDI Perjuangan juga menjawab soal pasal 7 yang menambah cakupan tugas pokok TNI, semula 14 menjadi 16 tugas pokok. Ia menyatakan hal tersebut sebagai bentuk antisipasi yang sifatnya adalah Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Dua tambahan tugas pokok TNI itu bertujuan membantu upaya penanggulangan ancaman pertahanan siber, melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. “Itu nanti diatur dalam PP dan Insha Allah. Ini kan hanya untuk antisipasi dan mitigasi. Jadi, jikalau terjadi ya akan dilaksanakan hal seperti itu (OMSP)” ungkapnya.
Dia pun menegaskan bahwa DPR siap memberikan penjelasan lebih lanjut kepada mahasiswa dan masyarakat yang masih memiliki keraguan terkait Undang-Undang TNI yang baru. “Kami siap untuk berdialog dan memberikan penjelasan secara langsung,” tegasnya.
Puan juga memastikan hal-hal yang dikhawatirkan seperti dwifungsi ABRI tidak akan terjadi. “Kami berharap masyarakat, khususnya mahasiswa, dapat lebih memahami apa yang telah disahkan dan bagaimana hal ini akan berdampak positif bagi pembangunan bangsa,” imbuhnya.
Perubahan Undang-Undang TNI, lanjut Puan, tidak akan mengubah prinsip dasar mengenai kedudukan TNI sebagai militer negara Indonesia. Prajurit TNI tetap tidak boleh berpolitik dan berbisnis. “TNI tetap dilarang berbisnis dan berpolitik. Ini adalah prinsip yang kami jaga dengan baik. Kami ingin menegaskan hal ini tidak akan berubah,” katanya.
Namun di saat DPR menggelar rapat pengesahan UU TNI, ribuan mahasiswa dan pegiat prodemokrasi di Jakarta dan sejumlah daerah menggelar unjuk rasa penolakan. Hingga Kamis (20/03) malam, massa masih menggelar aksi demonstrasi di gedung DPR, Jakarta.
Sekitar pukul 19.00 WIB, massa merangsek masuk gedung parlemen setelah menjebol pagara depan sebelah kiri. Massa mahasiswa dan aktivis pro demokrasi kemudian masuk ke halaman DPR sambil meneriakkan “Revolusi”.
Seorang mahasiswa yang berdemo, Sukma Ayu, menegaskan “perjuangan tidak bisa berhenti karena ketok palu dari pengesahan RUU TNI”. “Ketika undang-undang itu sudah disahkan, hanya ada satu kata, ‘lawan!’ Sampai akhirnya DPR melakukan evaluasi,” tegas Sukma.
Aktivis HAM, Wilson, menganggap pengesahan revisi UU TNI ini sebagai simbol “demokrasi telah dibunuh” oleh DPR. “Demokrasi dibunuh oleh DPR RI hari ini,” ujar Wilson di tengah demonstrasi yang di gelar di depan gedung DPR, Jakarta.
Dia menambahkan esensi dari demokrasi adalah “militer tidak boleh berpolitik dan tidak boleh menduduki jabatan sipil. “Militer hanya mengurus barak dan pertahanan negara,” kata Wilson seraya menyebut partai-partai di DPR berkolaborasi bersama-sama Presiden Prabowo membunuh demokrasi. (Cky/*)