Jakarta, Pasundan Raya – Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang saat ini sedang dibahas DPR masih menjadi sorotan, terutama terkait aturan mengenai jabatan sipil bagi anggota aktif TNI. Namun, anggota Komisi I DPR, Machfud Arifin, menegaskan pembahasan revisi UU TNI belum final lantaran masih dalam tahap diskusi.
“Yang kita perlu antisipasi adalah substansi lain yang menjadi sorotan masyarakat luas, yaitu tentang keberadaan TNI yang tak terlalu diharapkan, tidak terlalu masuk pada semua lini kegiatan civil society,” ujar Machfud dalam keterangannya, Minggu, 9 Maret 2025.
Politikus Partai NasDem tersebut mengatakan revisi UU TNI harus mempertimbangkan keseimbangan antara peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara dan batasan dalam ranah sipil. Masyarakat luas juga diharapkan berpartisipasi dalam memberi masukan terhadap revisi UU TNI.
“Ada pembatasan seperti di undang-undang sebelumnya. Tetapi mau ditambahkan, silakan boleh saja. Tetapi tergantung nantinya dalam putusan, dalam undang-undang yang akan diputuskan nantinya,” ujar dia seraya menyebut Komisi I menerima berbagai masukan dari berbagai pihak, khususnya masyarakat, sebelum mengesahkan bakal beleid tersebut.
Sehingga, keputusan akhir akan sangat bergantung pada hasil pembahasan yang mencerminkan keseimbangan antara kepentingan negara dan prinsip demokrasi. “Hal ini tentu saja masih dalam pembahasan. Itu belum final. Sebab kita juga harus mendengar aspirasi dari masyarakat secara luas,” ujar dia.
Sementara itu, Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad, dalam siaran persnya pada Kamis (6/3/2025), mengatakan berdasarkan draf revisi UU TNI yang diperoleh, terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik, yakni soal usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Ia mengatakan hal ini menjadi isu yang sangat kontroversial karena dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Dalam usulan perubahan, Pasal 47 Ayat (2) UU TNI ada penambahan frasa ‘serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden’.
Hussein menyebut penambahan frasa sesuai dengan kebijakan Presiden ini sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI. “Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil,” kata Hussein.
Hussein mengatakan penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan akan memperlemah profesionalisme TNI. Ia menuturkan profesionalisme TNI dapat terwujud ketika menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya. “Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus,” tegasnya.
Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan atau yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM, apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Hal ini kian membuat rancu setelah pemerintah dan DPR masih enggan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer.
Hussein mengungkapkan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil nantinya juga semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir aparatur sipil negara, karena akan memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia.
Imparsial mencatat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. “Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karir ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang,” katanya. (Cok/*)