Jakarta, Pasundan Raya – Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan mengungkapkan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Polri akan dibahas setelah parlemen menerima surat dari Presiden Prabowo. Dan pada saatnya, tegas Hinca, Komisi III DPR akan mengundang banyak ahli yang memiliki kapasitas untuk memberi masukan tentang aturan kepolisian Indonesia.
Itu disebabkan keterbukaan menjadi tolok ukur komisi III DPR untuk membahas RUU Polri. “Lihat lah kalau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja kami bikin belum kami mulai, panjanya itu sudah kami sangat terbuka, bahkan kami bikin powerpointnya. Kami jelaskan substansinya. Kami undang banyak orang untuk berikan masukan,” kata Hinca kepada wartawan, Senin (24/3/2025).
Menurut politisi senior Partai Demokrat itu, Komisi III selalu terbuka dengan pembahasan apa pun. Hinca menyebut keterbukaan itu seperti kasus besar yaitu Ferdy Sambo hingga kasus yang dialami oleh masyarakat sipil. “Untuk koreksi kepolisian, jangan menetapkan tersangka pada hal-hal yang kecil,” ucap Hinca.
Ia pun memastikan jika RUU Polri dibahas di Komisi III maka pembahasannya akan dilakukan secara terbuka seperti yang dilakukan saat membahas RUU KUHAP. RUU Polri, tegas dia, termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri.
Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Terkait dengan hal itu, pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyoroti berbagai kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Bambang mengatakan, salah satu masalah maraknya kasus pelanggaran hukum oleh kepolisian karena tidak berjalannya reformasi di kepolisian.
Menurut dia, tidak berjalannya reformasi di kepolisian karena lemahnya kepemimpinan di pucuk Polri. “Salah satu problem tidak berjalannya reformasi di kepolisian adalah lemahnya kepemimpinan. Lemahnya leadership ini ditandai dengan ketidakkonsistenan penegakan aturan,” kata Bambang.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo di awal pemerintahan harus membangun pondasi yang kuat agar tercipta stabilitas untuk membangun ekonomi negara yang maju dan itu hanya bisa dilakukan dengan tingginya tingkat kepastian hukum. “Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum memiliki peran sangat vital. Maka, reformasi Polri itu mutlak dilakukan,” imbuh Bambang. (Cok/*)